Pada suatu Jumat sore ketika kepala rasanya penuh seperti kulkas yang kebanyakan barang, aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Bukan pulang ke apartemen, tapi pulang ke hutan—setidaknya itu yang kurasakan setelah dua hari retret kecil di pinggiran kota. Sadar atau tidak, hutan itu seperti obat yang tidak pernah aku tahu namanya. Ada suara ranting yang patah, aroma tanah yang basah, dan sebuah damai yang entah kenapa membuat semua notifikasi di ponsel terasa jauh lebih tidak penting.
Kenapa Hutan Bisa Menenangkan?
Aku selalu kebingungan ketika orang bilang “alam penyembuh”. Sampai akhirnya aku duduk di bawah pohon pinus, menatap sinar matahari yang memecah lewat daun, dan sadar: ini bukan romantisme media sosial. Hutan merangkul semua indra. Udara dingin yang masuk ke paru-paru seolah menghapus setidaknya satu email dari daftar kewajiban, sementara suara burung membuat ritme pernapasan ikut melambat. Ada juga sensasi kecil—perasaan geli karena menemukan jamur lucu di bawah pohon—yang membuatku tertawa sendiri seperti orang bodoh. Menenangkan, ya, tapi tidak selalu sakral; seringkali lucu dan berantakan juga.
Retret Alam: Pengalaman Pribadi
Pertama kali aku ikut retret, aku takut bakal bosan. Ternyata malah sebaliknya: waktu terasa pecah dan luas. Jadwalnya sederhana—meditasi pagi, jalan hutan, makan bersama, dan tidur siang jika mau. Salah satu sesi favoritku adalah “diam bersama” di tepi sungai kecil, di mana setiap orang diminta hanya mendengar selama 20 menit. Di awal aku sempat menggeliat karena terlalu sadar pada gigitan serangga. Tapi setelah sepuluh menit, ada pergeseran; pikiranku yang biasanya melompat dari tugas A ke email B mendadak tenang. Retret itu bukan pelarian total—lebih seperti memberi jeda panjang pada tape record kehidupan yang selama ini diputar terus-menerus.
Jika kamu penasaran dan ingin tahu lebih lanjut tentang pengalaman serupa, ada beberapa tempat yang menawarkan pendekatan ramah lingkungan dan praktik mindfulness yang sederhana seperti ini—misalnya thegreenretreat yang kurasa cocok untuk pemula yang butuh suasana alami tanpa harus menjadi petualang ekstrem.
Mindfulness Sederhana yang Bisa Kamu Coba
Aku sering ditanya, “Gimana sih mulai latihan mindfulness?” Jawabanku selalu: mulai dari hal yang paling gampang dan tidak romantis—napas. Duduk, pegang cangkir teh, dan fokus pada sensasi hangat yang merambat ke tangan. Teknik lain yang kucoba di hutan adalah walking meditation: jalan pelan sambil memperhatikan setiap langkah—ketika kakiku menyentuh tanah, ketika batu kecil membuat sandal sedikit miring. Sekali waktu aku terpeleset karena tersenyum terlalu lebar melihat seekor tupai, tapi justru momen konyol itu yang membuat latihan terasa manusiawi, bukan upaya menjadi “sempurna”.
Ada juga body scan yang membantu ketika stres terasa seperti ngebobol genteng: mulai dari ujung kaki sampai kepala, rasakan tiap bagian dan lepaskan ketegangan. Latihan-latihan ini tidak butuh peralatan mewah, hanya konsistensi kecil setiap hari—5 menit cukup—dan izin untuk nggak selalu berhasil.
Perlukah Kita Tinggal di Hutan?
Tidak perlu ekstrem. Eco-living bukan soal pindah ke pondok kayu dan jadi vegetarian 100% semalam. Bagiku, eco-living adalah langkah-langkah kecil yang membuat hidup lebih selaras: membawa botol minum sendiri, memilih produk lokal, atau menanam beberapa pot sayur di balkon. Di retret, aku belajar bahwa menghargai alam dimulai dari hal paling sederhana: membersihkan sampah yang bukan milikmu di jalur hiking atau mematikan lampu saat tidak dipakai. Perubahan ini memberi efek surprisingly besar pada kesehatan mental—kamu merasa lebih bertanggung jawab, lebih terhubung, dan entah kenapa lebih ringan.
Akhirnya, yang paling aku bawa pulang dari retret itu bukan teknik ajaib, melainkan kebiasaan: menyediakan waktu tiap minggu untuk “tidak produktif” di hutan atau taman, dan memberi ruang pada diri untuk merasakan, tertawa konyol, menangis jika perlu. Ketika kita merawat bumi, bumi merawat kita kembali—dalam bentuk ketenangan yang sederhana namun nyata.